Tanggung jawab sosial suatu bisnis
Golden Natalia
23213773
Bab XIII
Tanggung jawab sosial suatu bisnis
A. Tanggung
jawab sosial perusahaan
Tanggung jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility
(selanjutnya dalam artikel akan disingkat CSR) adalah suatu konsep bahwa organisasi, khususnya (namun bukan hanya) perusahaan adalah memiliki berbagai bentuk tanggung jawab
terhadap seluruh pemangku kepentingannya, yang di antaranya adalah konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan yang
mencakup aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Oleh karena itu, CSR
berhubungan erat dengan "pembangunan
berkelanjutan", di mana suatu organisasi, terutama perusahaan, dalam melaksanakan
aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan dampaknya
dalam aspek ekonomi, misalnya tingkat keuntungan atau deviden, melainkan juga harus menimbang dampak sosial dan
lingkungan yang timbul dari keputusannya itu, baik untuk jangka pendek maupun
untuk jangka yang lebih panjang. Dengan pengertian tersebut, CSR dapat
dikatakan sebagai kontribusi perusahaan terhadap tujuan pembangunan
berkelanjutan dengan cara manajemen dampak (minimisasi dampak negatif dan
maksimisasi dampak positif) terhadap seluruh pemangku kepentingannya.
B. Pelaporan dan pemeriksaan
Untuk menunjukkan bahwa perusahaan adalah warga dunia bisnis yang baik maka
perusahaan dapat membuat pelaporan atas dilaksanakannya beberapa standar CSR
termasuk dalam hal:
- Akuntabilitas atas
standar AA1000 berdasarkan laporan sesuai standar John Elkington yaitu laporan yang menggunakan
dasar triple bottom line (3BL)
- Global Reporting Initiative, yang
mungkin merupakan acuan laporan berkelanjutan yang paling banyak digunakan
sebagai standar saat ini.
- Verite, acuan pemantauan
- Laporan
berdasarkan standar akuntabilitas sosial internasional SA8000
- Standar
manajemen lingkungan berdasarkan ISO 14000
Di beberapa negara dibutuhkan laporan pelaksanaan CSR, walaupun sulit
diperoleh kesepakatan atas ukuran yang digunakan untuk mengukur kinerja
perusahaan dalam aspek sosial. Smentara aspek lingkungan--apalagi aspek
ekonomi--memang jauh lebih mudah diukur. Banyak perusahaan sekarang menggunakan
audit eksternal guna memastikan kebenaran laporan tahunan
perseroan yang mencakup kontribusi perusahaan dalam pembangunan
berkelanjutan, biasanya diberi nama laporan CSR atau laporan keberlanjutan. Akan tetapi
laporan tersebut sangat luas formatnya, gayanya dan metodologi evaluasi yang
digunakan (walaupun dalam suatu industri yang sejenis). Banyak kritik
mengatakan bahwa laporan ini hanyalah sekadar "pemanis bibir" (suatu
basa-basi), misalnya saja pada kasus laporan tahunan CSR dari perusahaan Enron dan juga perusahaan-perusahaan rokok. Namun, dengan semakin berkembangnya
konsep CSR dan metode verifikasi laporannya, kecenderungan yang sekarang
terjadi adalah peningkatan kebenaran isi laporan. Bagaimanapun, laporan CSR
atau laporan keberlanjutan merupakan upaya untuk meningkatkan akuntabilitas
perusahaan di mata para pemangku kepentingannya.
C. Alasan terkait bisnis (business
case) untuk CSR
Skala dan sifat keuntungan dari CSR untuk suatu organisasi dapat berbeda-beda
tergantung dari sifat perusahaan tersebut. Banyak pihak berpendapat bahwa amat
sulit untuk mengukur kinerja CSR, walaupun sesungguhnya cukup banyak literatur
yang memuat tentang cara mengukurnya. Literatur tersebut misalnya metode
"Empat belas poin balanced
scorecard oleh Deming. Literatur lain misalnya Orlizty, Schmidt, dan Rynes[3] yang menemukan suatu korelasi positif walaupun lemah
antara kinerja sosial dan lingkungan hidup dengan kinerja keuangan perusahaan.
Kebanyakan penelitian yang mengaitkan antara kinerja CSR (corporate social
performance) dengan kinerja finansial perusahaan (corporate financial
performance) memang menunjukkan kecenderungan positif, namun kesepakatan
mengenai bagaimana CSR diukur belumlah lagi tercapai. Mungkin, kesepakatan para
pemangku kepentingan global yang mendefinisikan berbagai subjek inti (core
subject) dalam ISO 26000 Guidance on Social Responsibility--direncanakan
terbit pada September 2010--akan lebih memudahkan perusahaan untuk menurunkan
isu-isu di setiap subjek inti dalam standar tersebut menjadi alat ukur
keberhasilan CSR. Hasil Survey "The Millenium Poll on CSR" (1999)
yang dilakukan oleh Environics International (Toronto), Conference Board (New
York) dan Prince of Wales Business Leader Forum (London) di antara 25.000
responden dari 23 negara menunjukkan bahwa dalam membentuk opini tentang perusahaan,
60% mengatakan bahwa etika bisnis, praktik terhadap karyawan, dampak terhadap
lingkungan, yang merupakan bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan (CSR)
akan paling berperan. Sedangkan bagi 40% lainnya, citra perusahaan & brand
image-lah yang akan paling memengaruhi kesan mereka. Hanya 1/3 yang
mendasari opininya atas faktor-faktor bisnis fundamental seperti faktor
finansial, ukuran perusahaan,strategi perusahaan, atau manajemen.Lebih lanjut,
sikap konsumen terhadap perusahaan yang dinilai tidak melakukan CSR adalah
ingin "menghukum" (40%) dan 50% tidak akan membeli produk dari
perusahaan yang bersangkutan dan/atau bicara kepada orang lain tentang
kekurangan perusahaan tersebut. Secara umum, alasan terkait bisnis untuk
melaksanakan biasanya berkisar satu ataupun lebih dari argumentasi di bawah
ini:
1) Sumberdaya manusia
Program CSR dapat berwujud
rekruitmen tenaga kerja dan memperjakan masyarakat sekitar. Lebih jauh lagi CSR
dapat dipergunakan untuk menarik perhatian para calon pelamar pekerjaan [5], terutama sekali dengan adanya persaingan kerja di
antara para lulusan. Akan terjadi peningkatan kemungkinan untuk ditanyakannya
kebijakan CSR perusahaan, terutama pada saat perusahaan merekruit tenaga kerja
dari lulusan terbaik yang memiliki kesadaran sosial dan lingkungan. Dengan
memiliki suatu kebijakan komprehensif atas kinerja sosial dan lingkungan,
perusahaan akan bisa menarik calon-calon pekerja yang memiliki nilai-nilai
progresif. CSR dapat juga digunakan untuk membentuk suatu atmosfer kerja yang
nyaman di antara para staf, terutama apabila mereka dapat dilibatkan dalam
kegiatan-kegiatan yang mereka percayai bisa mendatangkan manfaat bagi
masyarakat luas, baik itu bentuknya "penyisihan gaji",
"penggalangan dana" ataupun kesukarelawanan (volunteering)
dalam bekerja untuk masyarakat.
2) Manajemen risiko
Manajemen risiko merupakan salah satu hal paling penting dari strategi
perusahaan. Reputasi yang dibentuk dengan susah payah selama bertahun-tahun dapat musnah dalam
sekejap melalui insiden seperti skandal korupsi atau tuduhan melakukan perusakan lingkungan hidup. Kejadian-kejadian seperti itu dapat menarik
perhatian yang tidak diinginkan dari penguasa, pengadilan, pemerintah dan media
massa. Membentuk suatu budaya kerja yang "mengerjakan sesuatu dengan
benar", baik itu terkait dengan aspek tata kelola perusahaan, sosial,
maupun lingkungan--yang semuanya merupakan komponen CSR--pada perusahaan dapat
mengurangi risiko terjadinya hal-hal negatif tersebut.[6].
3) Membedakan merek
Di tengah hiruk pikuknya pasar maka
perusahaan berupaya keras untuk membuat suatu cara penjualan yang unik sehingga
dapat membedakan produknya dari para pesaingnya di benak konsumen. CSR dapat
berperan untuk menciptakan loyalitas konsumen atas dasar nilai khusus dari
etika perusahaan yang juga merupakan nilai yang dianut masyarakat.[7]. Menurut Philip Kotler dan Nancy Lee, setidaknya ada
dua jenis kegiatan CSR yang bisa mendatangkan keuntungan terhadap merek, yaitu corporate
social marketing (CSM) dan cause related marketing (CRM). Pada CSM,
perusahaan memilih satu atau beberapa isu--biasanya yang terkait dengan
produknya--yang bisa disokong penyebarluasannya di masyarakat, misalnya melalui
media campaign. Dengan terus menerus mendukung isu tersebut, maka lama
kelamaan konsumen akan mengenali perusahaan tersebut sebagai perusahaan yang
memiliki kepedulian pada isu itu. Segmen tertentu dari masyarakat kemudian akan
melakukan pembelian produk perusahaan itu dengan pertimbangan kesamaan
perhatian atas isu tersebut. CRM bersifat lebih langsung. Perusahaan menyatakan
akan menyumbangkan sejumlah dana tertentu untuk membantu memecahkan masalah
sosial atau lingkungan dengan mengaitkannya dengan hasil penjualan produk
tertentu atau keuntungan yang mereka peroleh. Biasanya berupa pernyataan rupiah
per produk terjual atau proporsi tertentu dari penjualan atau keuntungan.
Dengan demikian, segmen konsumen yang ingin menyumbang bagi pemecahan masalah
sosial dan atau lingkungan, kemudian tergerak membeli produk tersebut. Mereka
merasa bisa berbelanja sekaligus menyumbang. Perusahaan yang bisa
mengkampanyekan CSM dan CRM-nya dengan baik akan mendapati produknya lebih
banyak dibeli orang, selain juga mendapatkan citra sebagai perusahaan yang
peduli pada isu tertentu.
4) Ijin usaha
Perusahaan selalu berupaya agar
menghindari gangguan dalam usahanya melalui perpajakan atau peraturan. Dengan melakukan sesuatu 'kebenaran" secara sukarela
maka mereka akan dapat meyakinkan pemerintah dan masyarakat luas bahwa mereka
sangat serius dalam memperhatikan masalah kesehatan dan keselamatan,
diskriminasi atau lingkungan hidup maka dengan demikian mereka dapat
menghindari intervensi. Perusahaan yang membuka usaha diluar negara asalnya
dapat memastikan bahwa mereka diterima dengan baik selaku warga perusahaan yang
baik dengan memperhatikan kesejahteraan tenaga kerja dan akibat terhadap
lingkungan hidup, sehingga dengan demikian keuntungan yang menyolok dan gaji
dewan direksinya yang sangat tinggi tidak dipersoalkan.
Motif perselisihan bisnis
Kritik atas CSR akan menyebabkan suatu alasan dimana akhirnya bisnis
perusahaan dipersalahkan. Contohnya, ada kepercayaan bahwa program CSR
seringkali dilakukan sebagai suatu upaya untuk mengalihkan perhatian masyarakat
atas masalah etika dari bisnis utama perseroan.
Daftar
Pusaka
^ ungkapan Dr. David C. Korten penulis Buku
laris berjudul When Corporations Rule the World.^ CSR: Meeting Changing
Expectations, 1999^
Orlizty, Schmidt and Rynes^
Tulisan
Chrysanti Hasibuan-Sedyono, MIM; staf senior Lembaga Manajemen PPM, Asisten
Dirut - External Relations PPM; pada situs PPM [1]^
The
Economist's CSR Survey^
Risk: A model
for multinationals^
Ethics and
Brand Value: Strategic Differentiation
Comments
Post a Comment