Peran Ombudsman Pelayanan Publik

Peran Ombudsman Pelayanan Publik
Ombudsman Republik Indonesia
Ombudsman Republik Indonesia (sebelumnya bernama Komisi Ombudsman Nasional) adalah lembaga negara di Indonesia yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan, termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Lembaga ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia yang disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 9 September 2008.
Sejarah
Upaya pembentukan lembaga Ombudsman di Indonesia oleh pemerintah dimulai ketika Presiden B.J. Habibie berkuasa, kemudian dilanjutkan oleh penggantinya, yakni K.H. Abdurrahman Wahid. Pada  masa pemerintahan K.H. Abdurrahman Wahid lah disebut sebagai tonggak sejarah pembentukan lembaga Ombudsman di Indonesia. Pemerintah pada waktu itu nampak sadar akan perlunya lembaga Ombudsman di Indonesia menyusul adanya tuntutan masyarakat yang amat kuat untuk mewujudkan pemerintah yang bersih dan penyelenggaraan negara yang baik atau clean and good governance. Presiden K.H. Abdurrahman Wahid segera mengeluarkan Keputusan Presiden nomor 55 tahun 1999 tentang tim pengkajian pembentukan lembaga Ombudsman. Menurut konsideran keputusan tersebut, latar belakang pemikiran perlunya dibentuk lembaga Ombudsman Indonesia adalah untuk lebih meningkatkan pemberian perlindungan terhadap hak-hak anggota masyarakat dari pelaku penyelenggara negara yang tidak sesuai dengan kewajiban hukumnya, dengan memberikan kesempatan kepada anggota masyarakat yang dirugikan untuk mengadu kepada suatu lembaga yang independen yang dikenal dengan nama Ombudsman. Pada bulan Maret 2000, K.H. Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional, sehingga mulai saat itu,  Indonesia memasuki babak baru dalam sistem pengawasan. Demikianlah maka sejak ditetapkannya Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 pada tanggal 10 Maret 2000 berdirilah lembaga Ombudsman Indonesia dengan dengan nama Komisi Ombudsman Nasional. Menurut Kepres Nomor 44 Tahun 2000, pembentukan lembaga Ombudsman di Indonesia dilatarbelakangi oleh tiga pemikiran dasar sebagaimana tertuang di dalam konsiderannya, yakni:
  1. Bahwa pemberdayaan masyarakat melalui peran serta mereka melakukan pengawasan akan lebih menjamin peneyelenggaraan negara yang jujur, bersih, transparan, bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme;
  2. Bahwa pemberdayaan pengawasan oleh masyarakat terhadap penyelenggaraan negara merupakan implementasi demokrasi yang perlu dikembangkan serta diaplikasikan agar penyalahgunaan kekuasaan, wewenang ataupun jabatan oleh aparatur dapat diminimalisasi;
  3. Bahwa dalam penyelenggaraan negara khususnya penyelenggaraan pemerintahan memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap hak-hak anggota masyarakat oleh aparatur pemerintah termasuk lembaga peradilan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan.
Kemudian untuk lebih mengoptimalkan fungsi, tugas, dan wewenang komisi Ombudsman Nasional, perlu dibentuk Undang-undang tentang Ombudsman Republik Indonesia sebagai landasan hukum yang lebih jelas dan kuat. Hal ini sesuai pula dengan amanat ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor/MPR/2001 tentang rekomendasi arah kebijakan pemberantasan dan pencegahan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang salah satunya memerintahkan dibentuknya Ombudsman dengan Undang-undang. Akhirnya pada tanggal 7 Oktober 2008 ditetapkanlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia. Setelah berlakunya Undang-Undang Ombudsman Republik Indonesia, maka Komisi Ombudsman Nasional berubah menjadi Ombudsman Republik Indonesia. Perubahan nama tersebut mengisyaratkan bahwa Ombudsman tidak lagi berbentuk Komisi Negara yang bersifat sementara, tapi merupakan lembaga negara yang permanen sebagaimana lembaga-lembaga negara yang lain, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainya.
Tugas
Tugas Ombudsman Republik Indonesia adalah:
  1. Menerima Laporan atas dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
  2. Melakukan pemeriksaan substansi atas Laporan.
  3. Menindaklanjuti Laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangannya.
  4. Melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
  5. Melakukan koordinasi dan kerja sama dengan lembaga negara atau lembaga pemerintahan lainnya serta lembaga kemasyarakatan dan perseorangan.
  6. Membangun jaringan kerja.
  7. Melakukan upaya pencegahan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
  8. Melakukan tugas lain yang diberikan oleh undang-undang.
Anggota
Ombudsman Republik Indonesia terdiri atas 9 anggota (termasuk 1 ketua dan 1 wakil ketua), yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan calon yang diusulkan oleh Presiden. Anggota Ombudsman RI saat ini adalah :
  1. Danang Girindrawardana (Ketua merangkap Anggota)
  2. Azlaini Agus (Wakil Ketua merangkap Anggota)
  3. Ibnu Tricahyo (Anggota)
  4. Budi Santoso (Anggota)
  5. Hendra Nurtjahjo (Anggota)
  6. Pranomo Dahlan (Anggota)
  7. Petrus Beda Peduli (Anggota)
  8. Muhammad Khoirul Anwar (Anggota)
  9. Kartini Istikomah (Anggota)
Berdasarkan aturan peralihan UU No. 37 Tahun 2008, seluruh anggota Komisi Ombudsman Nasional ditetapkan menjadi anggota Ombudsman Republik Indonesia sampai dengan ditetapkannya keanggotaan yang baru.
Peran Ombudsman Republik Indonesia
Dalam Tata Kelola Pengawasan Pelayanan Publik
Sebelum era  reformasi, penyelenggaraan negara dan pemerintahan dipandang penuh korupsi,  kolusi dan nepotisme (KKN) dan tampaknya keadaan tersebut sampai sekarang masih terus berlanjut di  era reformasi ini. Semakin meningkat perilaku KKN tentu akan mengakibatkan pelayanan publik semakin  jauh  dari  kualitas.  Oleh  sebab  itu,  harus  dilakukan  berbagai  upaya  keras  untuk  melakukan  reformasi. Benar bahwa program-program reformasi birokrasi yang sudah berjalan belum memaparkan hasil yang  memuaskan.  Tetapi  setidaknya proses  ini  sedang  berjalan dan membutuhkan motivasi dan optimisme  dari seluruh stake holder bangsa ini.
Masalah utama
Filosofi  penting  dari  adanya  penyelenggaraan  Negara  dan  pemerintahan  adalah  demi meningkatkan kecerdasan bangsa dan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dalam rangka mencapai dua  visi  tersebut  Negara  dan  pemerintah  melaksanakan  berbagai  agenda  yang  disebut  dengan  pelayanan publik.  Untuk  menjalankan  pelayanan  publik  diperlukan  susunan  peraturan  perundang-undangan  dan penyelenggara  yang  melaksanakannya.  Penyelenggara  pelayanan  publik  adalah  pemerintah  dengan seluruh perangkat pemerintahannya yang disebut birokrasi yang memiliki lingkup dari pusat sampai ke daerah. Masalahnya adalah, kapasitas dan kapabilitas birokrasi untuk berubah sejalan dengan kecepatan perkembangan jaman tidak selalu parallel (seiring). Tuntutan masyarakat, dunia usaha, dan persaingan global  jauh  lebih  cepat  dari  adaptabilitas  birokrasi.  Hal  inilah  yang  pada  ujungnya  dipandang  sebagai “pelayanan publik yang buruk”. Berbagai pendapat menunjukkan 4 kategori penyebab buruknya kualitas pelayanan publik, yaitu: Pertama,  hal-hal  berikut  ini:  KKN,  organisasi  gemuk,  nepotisme  jabatan,  tensi  politik  dalam birokrasi,  anggaran  sulit  terkontrol,  moral  hazard  para  pegawai;  menjadikan  perencanaan  kebijakan publik tidak memihak pada kepentingan besar tetapi lebih pada kepentingan kelompok. Kedua,  budaya  pelayanan yang buruk, seperti menunda pekerjaan, tidak disiplin, tidak ramah, penyimpangan prosedur, penyalahgunaan wewenang, tidak kompeten, pungutan liar, dan lainnya. Ketiga,  rendahnya  partisipasi  masyarakat.  Masyarakat  belum  berani  menuntut haknya mendapatkan pelayanan prima dari para penyelenggara pelayanan publik. Keempat,  pengawasan  dan  pencegahan  praktik  maladministrasi  terhadap  penyelenggara  pelayanan publik belum memadai. Bagaimana mengatasinya? Dalam  konteks  mewujudkan  good  governance    dalam  penyelenggaraan  Negara    dan pemerintahan  yang  bersih  dan  bebas  dari  KKN,  diperlukan  sebuah  lembaga  yang  berfungsi. untuk melakukan  pengawasan  dan  pencegahan  terhadap  praktik  KKN.  Langkah-langkah  represif  melalui penegakan hukum seperti yang selama ini dilakukan oleh KPK, Kejaksaan dan Kepolisian dipandang tidak akan efektif tanpa upaya pencegahan. Harus terdapat terobosan baru dalam segi ketatanegaraan untuk
mengedepankan pendekatan lain dalam hal pencegahan praktek KKN. Kita perlu memahami bahwa awal terjadinya KKN adalah praktek maladministrasi. Hal ini jarang dipahami. Maladministrasi adalah praktek perilaku buruk yang menyimpang dari norma-norma, hukum dan  peraturan  perundang-undangan, dan  inilah  yang  ditengarai  sebagai  penyebab  rendahnya  kualitas penyelenggaraan  Negara  dan  pemerintahan.  Maladministrasi  lebih  mudah  dipahami  dengan  contoh perilaku,  yaitu  misalnya  penyalahgunaan  kewenangan,  penundaan  berlarut,  peyimpangan  prosedur,konflik kepentingan, tidak kompeten, pembiaran, memihak, pengabaian kewajiban hukum, dan lain-lain. Praktek-praktek maladministrasi seperti itulah yang  kemudian  cenderung mengarah menjadi apa yang disebut korupsi, kolusi dan nepotisme.  Meskipun  tidak semua perilaku maladministrasi sudah  terbukti menjadi  perilaku  koruptif  atau  kolutif. Tetapi  jelas  bahwa  perilaku  maladministrasi  itulah  yang menghambat  terwujudnya  penyelenggaraan  negara  dan  pemerintahan  yang  kredible,  jujur,  bersih, terbuka  serta  bebas  dari  korupsi,  kolusi,  dan  nepotisme.  Karena  itu  diperlukan  keberadaan  lembaga pengawas  eksternal  yang  secara  efektif  mampu  mengidentifikasi  dan  menindaklanjuti perilaku maladministrasi dari penyelenggaraan Negara dan pemerintahan.
Mengapa  diperlukan  pengawas  eksternal?  Karena  pengalaman  membuktikan  bahwa  keberadaan pengawas  internal yang ada didalam pemerintah  (misalnya:  inspektorat jenderal  dan bawasda)  dalam implementasinya  ternyata  belum memenuhi  harapan  masyarakat,  baik  dari  sisi  objektifitas  maupun akuntabilitasnya. Sehingga, dibutuhkan lembaga pengawas eksternal agar mekanisme pengawasan lebih kuat  dan  efektif  demi  mewujudkan  birokrasi  bersih,  transparan  dan  responsif  terhadap  kebutuhan publik. Demi  mewujudkan  penyelenggaraan  negara  dan  pemerintahan  yang  baik  setidaknya  pengawas eksternal bisa melakukan intervensi dalam bidang-bidang strategis:
1.  penegakan hukum
2.  kualitas aparatur penyelenggara negara dan pemerintahan
3.  sistem  manajemen  pelayanan  publik  baik  dalam  peraturan  perundang-undangan  ataupun
implementasinya
4.  partisipasi dan penyadaran hak-hak serta kewajiban public
5.  pengawasan yang efektif dan efisien
Negara  dan  pemerintah  sejak  tahun  1999  sudah  menyadari  perlunya  fungsi  pengawasan eksternal  tersebut.  Terbukti  bahwa  sejak  dikeluarkannya  TAP  MPR-RI  Nomor  VII/MPR/2001  tentang Rekomendasi  Arah  Kebijakan  Pemberantasan  dan  Pencegahan  Korupsi,  Kolusi  dan  Nepotisme.  Salah satu  rekomendasi  dimaksud  adalah  perintah  pembentukan  undang-undang  tentang  KPK  dan Ombudsman. Optimalisasi Pengawasan Eksternal Sejak KON (Komisi Ombudsman Nasional) dilahirkan dengan Keppres, sampai satu dasawarsa ini dengan berbagai keterbatasan (terutama sumber daya dan finansial), telah menerima 8500 pengaduan masyarakat  atau  rata-rata  850  pengaduan/tahun.  Angka  ini  membuktikan  bahwa  berbagai  bidang tersebut perlu ditingkatkan termasuk juga kuantitas partisipasi publik. Angka tersebut masih sangat kecil jika  dibandingkan  dengan  misalnya  Ombudsman  di  negara  Yunani,  dengan  jumlah penduduk  12  juta jiwa, dapat menyelesaikan rata-rata 11.000 pengaduan masyarakat/tahun.  Kemudian  dilahirkan  Undang-Undang  Nomor  37  Tahun  2008  tentang  Ombudsman  Republik Indonesia untuk memperkuat KON. Selain landasan hukumnya  lebih kuat  (dari Keppres menjadi UU), juga kekuasaan dan wewenangnya lebih besar, lebih kuat dan lebih luas. Pada sisi lain bentuknya juga berubah dari sebuah Komisi berubah menjadi Lembaga Negara yang mandiri dan permanen. Ombudsman  RI  merupakan  lembaga  negara  yang  menganut  dan  memegang  asas-asas. Ombudsman  universal.    Dean  Gotherer,  seorang  pakar  Ombudsman dari  Amerika  dalam  bukunya Ombudsman Legislative Resource  Document menyatakan  adanya 60 (enampuluh) asas-asas   universal dalam konsep Ombudsman. Asas-asas yang paling utama adalah independence, impartiality, fairness, a  credible review process and confidenciality. Asas  independent  merupakan  hal  yang  esensial,  dan  dimuat  sebagai  sifat  Ombudsman  RI  di dalam Pasal 2 UU Nomor 37 Tahun 2008 yang berbunyi: “Ombudsman merupakan lembaga negara yang bersifat  mandiri  dan  tidak  memiliki  hubungan  organik  dengan  lembaga  negara  dan  instansi pemerintahan  lainnya,  serta  dalam  menjalankan  tugas  dan  wewenangnya  bebas  dari  campur  tangan kekuasaan lainnya”. Asas-asas  universal    lainnya    dapat  juga  dilihat  pada  Pasal  29  ayat  (1)  yang  menyebutkan  : “Dalam  memeriksa  laporan,  Ombudsman  wajib  berpedoman  pada  prinsip-prinsip  independen,  non-diskriminasi,  tidak memihak,  dan tidak  memungut  biaya”,  dan  juga Pasal   30 ayat  (1) yang  mengatur bahwa  Ombudsman    dalam  melakukan pemeriksaan  wajib  menjaga  kerahasiaan,  kecuali  demi menghambat  terwujudnya  penyelenggaraan  negara  dan  pemerintahan  yang  kredible,  jujur,  bersih, terbuka  serta  bebas  dari  korupsi,  kolusi,  dan  nepotisme.  Karena  itu  diperlukan  keberadaan  lembaga pengawas  eksternal  yang  secara  efektif  mampu  mengidentifikasi  dan  menindaklanjuti  perilaku maladministrasi dari penyelenggaraan Negara dan pemerintahan. Mengapa  diperlukan  pengawas  eksternal?  Karena  pengalaman  membuktikan  bahwa  keberadaan pengawas  internal yang ada didalam pemerintah  (misalnya:  inspektorat jenderal  dan bawasda)  dalam implementasinya  ternyata  belum  memenuhi  harapan  masyarakat,  baik  dari  sisi  objektifitas  maupun akuntabilitasnya. Sehingga, dibutuhkan lembaga pengawas eksternal agar mekanisme pengawasan lebih kuat  dan  efektif  demi  mewujudkan  birokrasi  bersih,  transparan  dan  responsif  terhadap kebutuhan publik. Demi  mewujudkan  penyelenggaraan  negara  dan  pemerintahan  yang  baik  setidaknya  pengawas eksternal bisa melakukan intervensi dalam bidang-bidang strategis:
1.  penegakan hukum
2.  kualitas aparatur penyelenggara negara dan pemerintahan
3.  sistem  manajemen  pelayanan  publik  baik  dalam  peraturan  perundang-undangan  ataupun
implementasinya
4.  partisipasi dan penyadaran hak-hak serta kewajiban public
5.  pengawasan yang efektif dan efisien
Negara  dan  pemerintah  sejak  tahun  1999  sudah  menyadari  perlunya  fungsi  pengawasan eksternal  tersebut.  Terbukti  bahwa  sejak  dikeluarkannya  TAP  MPR-RI  Nomor  VII/MPR/2001  tentang Rekomendasi  Arah  Kebijakan  Pemberantasan  dan  Pencegahan  Korupsi,  Kolusi  dan  Nepotisme.  Salah satu  rekomendasi  dimaksud  adalah  perintah  pembentukan  undang-undang  tentang  KPK  dan Ombudsman. Optimalisasi Pengawasan Eksternal. Sejak KON (Komisi Ombudsman Nasional) dilahirkan dengan Keppres, sampai satu dasawarsa ini dengan berbagai keterbatasan (terutama sumber daya dan finansial), telah menerima 8500 pengaduan masyarakat  atau  rata-rata  850  pengaduan/tahun.  Angka  ini  membuktikan  bahwa  berbagai  bidang tersebut perlu ditingkatkan termasuk juga kuantitas partisipasi publik. Angka tersebut masih sangat kecil jika  dibandingkan  dengan  misalnya  Ombudsman  di  negara  Yunani,  dengan  jumlah  penduduk  12  juta jiwa, dapat menyelesaikan rata-rata 11.000 pengaduan masyarakat/tahun. Kemudian  dilahirkan  Undang-Undang  Nomor  37  Tahun  2008  tentang  Ombudsman  Republik Indonesia untuk memperkuat KON. Selain landasan hukumnya  lebih kuat  (dari Keppres menjadi UU), juga kekuasaan dan wewenangnya lebih besar, lebih kuat dan lebih luas. Pada sisi lain bentuknya juga berubah dari sebuah Komisi berubah menjadi Lembaga Negara yang mandiri dan permanen. Ombudsman  RI  merupakan  lembaga  negara  yang  menganut  dan  memegang  asas-asas Ombudsman  universal. Dean  Gotherer,  seorang  pakar  Ombudsman  dari  Amerika  dalam  bukunya Ombudsman Legislative Resource  Document menyatakan  adanya 60 (enampuluh) asas-asas universal dalam konsep Ombudsman. Asas-asas yang paling utama adalah independence, impartiality, fairness, a credible review process and confidenciality. Asas  independent  merupakan  hal  yang  esensial,  dan  dimuat  sebagai sifat Ombudsman RI di dalam Pasal 2 UU Nomor 37 Tahun 2008 yang berbunyi: “Ombudsman merupakan lembaga negara yang bersifat  mandiri  dan  tidak  memiliki  hubungan  organik  dengan  lembaga  negara  dan  instansi pemerintahan  lainnya,  serta  dalam  menjalankan  tugas dan wewenangnya bebas dari campur  tangan kekuasaan lainnya”. Asas-asas  universal    lainnya dapat  juga  dilihat  pada  Pasal  29  ayat  (1)  yang  menyebutkan  : “Dalam  memeriksa  laporan, Ombudsman  wajib  berpedoman  pada  prinsip-prinsip  independen,non-diskriminasi,  tidak memihak, dan tidak  memungut  biaya”,  dan  juga Pasal   30 ayat  (1) yang  mengatur bahwa  Ombudsman dalam  melakukan  pemeriksaan  wajib  menjaga  kerahasiaan,  kecuali  demi 3. Sekarang  Ombudsman  RI  tidak  hanya  berwenang  menindaklanjuti  laporan  publik  tetapi  juga memiliki kewenangan untuk melakukan investigasi atas prakarsa sendiri. (Pasal 7, UU 37 Tahun 2008).  4.  Sekarang  Ombudsman  RI  dapat  melakukan  pemeriksaan  ke  objek  pelayanan  publik  tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada pejabat atau instansi yang dilaporkan, (Pasal 34, UU 37 Tahun 2008)  dan  berwenang  memeriksa  dokumen-dokumen  terkait  yang  diperlukan dari instansi  manapun untuk  melakukan  pemeriksaan  laporan  atau berdasarkan  inisiatif  investigasi sendiri (huruf b, ayat 1, pasal 8 UU 37 Tahun 2008). 5.Terdapat ancaman  pidana bagi setiap  orang yang menghalangi Ombudsman  dalam melakukan pemeriksaaan, dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.1 milyar (Pasal 44, UU 37 Tahun 2008). 6.  Terdapat  imunitas  hukum:  yaitu  dalam  menjalankan  tugas  dan  wewenangnya, Ombudsman Republik Indonesia tidak dapat  ditangkap,  ditahan, diinterogasi, dituntut atau digugat di muka pengadilan (Pasal 10, UU 37 Tahun 2008). Perlunya kerjasama dan koordinasi Upaya  perbaikan  kualitas  pelayanan  publik  dan  meningkatkan  budaya  hukum  tidak  bisa dilakukan  oleh  hanya  satu  lembaga,  beberapa  lembaga  atau  orang  per  orang. Terdapat  beberapa kendala besar, yaitu selain jumlah sector pelayanan publik yang begitu banyak dan spesifik, juga sebaran wilayah  yang  begitu  luas.  Maka,  seluruh  pemangku  kepentingan  bangsa  harus  bersama  menjaga kepentingan ini, sehingga upaya-upaya sinergis sangat diperlukan. Maka pada pinsipnya, Ombudsman RI perlu menjalin koordinasi dan kerjasama dengan lembaga Negara atau lembaga pemerintahan lainnya, serta lembaga kemasyarakatan dan perseorangan (pasal 7 UU  37  Tahun  2008). Dengan  koordinasi  dan  kerjasama  akan  meningkatkan  efektifitas  dan  efisiensi pelaksanaan peran lembaga. Termasuk dengan adanya berbagai jenis spesifik Ombudsman yang berada dilingkup daerah. Salah satu sudut  pandang penting yang  perlu  diperhatikan adalah  bahwa, hak-hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan publik yang baik dan kewajiban masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan adalah dua hal yang secara serempak harus dilakukan demi memberdayakan masyarakat. Semakin  tinggi kualitas  keberdayaan  masyarakat,  semakin  besar  peran  Ombudsman  dalam dinamika pembangunan kesejahteraan bangsa dan Negara Indonesia.
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Ombudsman_Republik_Indonesia
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&ved=0CCYQFjAB&url=http%3A%2F%2Fmultimedia-itjen.dephub.go.id%2Fdata-konten%2Fmm%2Fuploadedpdf%2FPaparan_Ombudsman_Ombudsman_dan_Penyelenggaraan_Pelayanan_Publik.pdf%3Fp%3Dpdf&ei=lVBwVI35Ocq9ugSMh4KYCw&usg=AFQjCNGcyysfKhKIX-JseR7_7ej5hqNfWA&sig2=nYBV-_LT2XEn8kCqLHrmRA&bvm=bv.80185997,d.c2E
http://www.mediafire.com/view/g0zdc1fy77l1cbn/peran+ori.pdf

Comments

Popular Posts