Peran Ombudsman Pelayanan Publik
Peran Ombudsman Pelayanan Publik
Ombudsman Republik Indonesia
Ombudsman Republik
Indonesia (sebelumnya
bernama Komisi Ombudsman Nasional) adalah lembaga negara di Indonesia
yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang
diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan, termasuk yang
diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan
swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik
tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah. Lembaga ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman Republik Indonesia yang disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada
tanggal 9 September 2008.
Sejarah
Upaya pembentukan lembaga Ombudsman di Indonesia oleh pemerintah dimulai
ketika Presiden B.J. Habibie berkuasa, kemudian dilanjutkan oleh penggantinya,
yakni K.H. Abdurrahman Wahid. Pada masa pemerintahan K.H. Abdurrahman
Wahid lah disebut sebagai tonggak sejarah pembentukan lembaga Ombudsman di
Indonesia. Pemerintah pada waktu itu nampak sadar akan perlunya lembaga
Ombudsman di Indonesia menyusul adanya tuntutan masyarakat yang amat kuat untuk
mewujudkan pemerintah yang bersih dan penyelenggaraan negara yang baik atau
clean and good governance. Presiden K.H. Abdurrahman Wahid segera mengeluarkan
Keputusan Presiden nomor 55 tahun 1999 tentang tim pengkajian pembentukan
lembaga Ombudsman. Menurut konsideran keputusan tersebut, latar belakang
pemikiran perlunya dibentuk lembaga Ombudsman Indonesia adalah untuk lebih
meningkatkan pemberian perlindungan terhadap hak-hak anggota masyarakat dari
pelaku penyelenggara negara yang tidak sesuai dengan kewajiban hukumnya, dengan
memberikan kesempatan kepada anggota masyarakat yang dirugikan untuk mengadu
kepada suatu lembaga yang independen yang dikenal dengan nama Ombudsman.
Pada bulan Maret 2000, K.H. Abdurrahman
Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi
Ombudsman Nasional, sehingga mulai saat itu, Indonesia memasuki babak
baru dalam sistem pengawasan. Demikianlah maka sejak ditetapkannya Keputusan
Presiden Nomor 44 Tahun 2000 pada tanggal 10 Maret 2000 berdirilah lembaga
Ombudsman Indonesia dengan dengan nama Komisi Ombudsman Nasional. Menurut
Kepres Nomor 44 Tahun 2000, pembentukan lembaga Ombudsman di Indonesia
dilatarbelakangi oleh tiga pemikiran dasar sebagaimana tertuang di dalam
konsiderannya, yakni:
- Bahwa
pemberdayaan masyarakat melalui peran serta mereka melakukan pengawasan
akan lebih menjamin peneyelenggaraan negara yang jujur, bersih,
transparan, bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme;
- Bahwa
pemberdayaan pengawasan oleh masyarakat terhadap penyelenggaraan negara
merupakan implementasi demokrasi yang perlu dikembangkan serta
diaplikasikan agar penyalahgunaan kekuasaan, wewenang ataupun jabatan oleh
aparatur dapat diminimalisasi;
- Bahwa dalam
penyelenggaraan negara khususnya penyelenggaraan pemerintahan memberikan
pelayanan dan perlindungan terhadap hak-hak anggota masyarakat oleh
aparatur pemerintah termasuk lembaga peradilan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari upaya untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan.
Kemudian untuk
lebih mengoptimalkan fungsi, tugas, dan wewenang komisi Ombudsman Nasional,
perlu dibentuk Undang-undang tentang Ombudsman Republik Indonesia sebagai
landasan hukum yang lebih jelas dan kuat. Hal ini sesuai pula dengan amanat
ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor/MPR/2001 tentang rekomendasi
arah kebijakan pemberantasan dan pencegahan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang
salah satunya memerintahkan dibentuknya Ombudsman dengan Undang-undang.
Akhirnya pada tanggal 7 Oktober 2008 ditetapkanlah Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia. Setelah
berlakunya Undang-Undang Ombudsman Republik Indonesia, maka Komisi Ombudsman
Nasional berubah menjadi Ombudsman Republik Indonesia. Perubahan nama tersebut
mengisyaratkan bahwa Ombudsman tidak lagi berbentuk Komisi Negara yang bersifat
sementara, tapi merupakan lembaga negara yang permanen sebagaimana
lembaga-lembaga negara yang lain, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya
bebas dari campur tangan kekuasaan lainya.
Tugas
Tugas Ombudsman Republik Indonesia adalah:
- Menerima
Laporan atas dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan
publik.
- Melakukan
pemeriksaan substansi atas Laporan.
- Menindaklanjuti
Laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangannya.
- Melakukan
investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan Maladministrasi dalam
penyelenggaraan pelayanan publik.
- Melakukan
koordinasi dan kerja sama dengan lembaga negara atau lembaga pemerintahan
lainnya serta lembaga kemasyarakatan dan perseorangan.
- Membangun
jaringan kerja.
- Melakukan
upaya pencegahan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
- Melakukan
tugas lain yang diberikan oleh undang-undang.
Anggota
Ombudsman Republik
Indonesia terdiri atas 9 anggota (termasuk 1 ketua dan 1 wakil ketua), yang
dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan calon
yang diusulkan oleh Presiden. Anggota Ombudsman RI saat ini
adalah :
- Danang
Girindrawardana (Ketua merangkap Anggota)
- Azlaini Agus
(Wakil Ketua merangkap Anggota)
- Ibnu Tricahyo
(Anggota)
- Budi Santoso
(Anggota)
- Hendra
Nurtjahjo (Anggota)
- Pranomo
Dahlan (Anggota)
- Petrus Beda
Peduli (Anggota)
- Muhammad
Khoirul Anwar (Anggota)
- Kartini
Istikomah (Anggota)
Berdasarkan aturan
peralihan UU No. 37 Tahun 2008, seluruh anggota Komisi Ombudsman Nasional
ditetapkan menjadi anggota Ombudsman Republik Indonesia sampai dengan
ditetapkannya keanggotaan yang baru.
Peran Ombudsman Republik Indonesia
Dalam Tata Kelola Pengawasan Pelayanan
Publik
Sebelum era reformasi, penyelenggaraan negara dan
pemerintahan dipandang penuh korupsi, kolusi
dan nepotisme (KKN) dan tampaknya keadaan tersebut sampai sekarang masih terus
berlanjut di era reformasi ini. Semakin
meningkat perilaku KKN tentu akan mengakibatkan pelayanan publik semakin jauh dari
kualitas. Oleh sebab
itu, harus dilakukan
berbagai upaya keras
untuk melakukan reformasi. Benar bahwa program-program
reformasi birokrasi yang sudah berjalan belum memaparkan hasil yang memuaskan. Tetapi setidaknya
proses ini sedang berjalan
dan membutuhkan motivasi dan optimisme dari
seluruh stake holder bangsa ini.
Masalah utama
Filosofi penting dari adanya
penyelenggaraan Negara dan
pemerintahan adalah demi
meningkatkan kecerdasan bangsa dan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dalam
rangka mencapai dua visi tersebut Negara dan
pemerintah melaksanakan berbagai agenda yang
disebut dengan pelayanan
publik. Untuk menjalankan pelayanan publik diperlukan
susunan peraturan perundang-undangan dan penyelenggara yang melaksanakannya.
Penyelenggara pelayanan publik adalah
pemerintah dengan seluruh perangkat pemerintahannya yang
disebut birokrasi yang memiliki lingkup dari pusat sampai ke daerah. Masalahnya
adalah, kapasitas dan kapabilitas birokrasi untuk berubah sejalan dengan
kecepatan perkembangan jaman tidak selalu parallel (seiring). Tuntutan
masyarakat, dunia usaha, dan persaingan global jauh lebih
cepat dari adaptabilitas
birokrasi. Hal inilah
yang pada ujungnya
dipandang sebagai “pelayanan publik yang buruk”.
Berbagai pendapat menunjukkan 4 kategori penyebab buruknya kualitas pelayanan
publik, yaitu: Pertama, hal-hal berikut ini: KKN,
organisasi gemuk, nepotisme
jabatan, tensi politik
dalam birokrasi, anggaran sulit terkontrol,
moral hazard para
pegawai; menjadikan perencanaan kebijakan publik tidak memihak pada
kepentingan besar tetapi lebih pada kepentingan kelompok. Kedua, budaya pelayanan
yang buruk, seperti menunda pekerjaan, tidak disiplin, tidak ramah, penyimpangan
prosedur, penyalahgunaan wewenang, tidak kompeten, pungutan liar, dan lainnya. Ketiga,
rendahnya partisipasi masyarakat. Masyarakat belum berani
menuntut haknya mendapatkan pelayanan
prima dari para penyelenggara pelayanan publik. Keempat, pengawasan dan pencegahan
praktik maladministrasi terhadap penyelenggara pelayanan publik belum memadai. Bagaimana
mengatasinya? Dalam konteks mewujudkan good governance
dalam penyelenggaraan
Negara dan pemerintahan yang bersih
dan bebas dari
KKN, diperlukan sebuah lembaga
yang berfungsi. untuk melakukan pengawasan dan pencegahan
terhadap praktik KKN. Langkah-langkah
represif melalui penegakan hukum seperti yang selama
ini dilakukan oleh KPK, Kejaksaan dan Kepolisian dipandang tidak akan efektif
tanpa upaya pencegahan. Harus terdapat terobosan baru dalam segi ketatanegaraan
untuk
mengedepankan pendekatan lain dalam hal
pencegahan praktek KKN. Kita perlu memahami bahwa awal terjadinya KKN adalah praktek
maladministrasi. Hal ini jarang dipahami. Maladministrasi adalah praktek
perilaku buruk yang menyimpang dari norma-norma, hukum dan peraturan perundang-undangan, dan inilah yang
ditengarai sebagai penyebab rendahnya kualitas penyelenggaraan Negara dan
pemerintahan. Maladministrasi lebih mudah
dipahami dengan contoh
perilaku, yaitu misalnya penyalahgunaan kewenangan, penundaan berlarut, peyimpangan prosedur,konflik kepentingan, tidak kompeten,
pembiaran, memihak, pengabaian kewajiban hukum, dan lain-lain. Praktek-praktek
maladministrasi seperti itulah yang kemudian
cenderung mengarah menjadi apa yang disebut
korupsi, kolusi dan nepotisme. Meskipun tidak semua perilaku maladministrasi sudah terbukti menjadi perilaku koruptif atau kolutif.
Tetapi jelas bahwa perilaku
maladministrasi itulah yang
menghambat terwujudnya penyelenggaraan negara dan
pemerintahan yang kredible,
jujur, bersih, terbuka serta bebas
dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Karena itu diperlukan
keberadaan lembaga pengawas eksternal yang secara
efektif mampu mengidentifikasi
dan menindaklanjuti perilaku maladministrasi dari
penyelenggaraan Negara dan pemerintahan.
Mengapa diperlukan pengawas eksternal? Karena pengalaman
membuktikan bahwa keberadaan
pengawas internal yang ada didalam
pemerintah (misalnya: inspektorat jenderal dan bawasda) dalam implementasinya ternyata belum memenuhi harapan masyarakat, baik dari
sisi objektifitas maupun akuntabilitasnya. Sehingga, dibutuhkan
lembaga pengawas eksternal agar mekanisme pengawasan lebih kuat dan efektif
demi mewujudkan birokrasi bersih, transparan dan responsif
terhadap kebutuhan publik. Demi mewujudkan penyelenggaraan negara dan
pemerintahan yang baik
setidaknya pengawas eksternal bisa melakukan intervensi
dalam bidang-bidang strategis:
1. penegakan hukum
2. kualitas aparatur penyelenggara negara dan
pemerintahan
3. sistem manajemen
pelayanan publik baik
dalam peraturan perundang-undangan ataupun
implementasinya
4. partisipasi dan penyadaran hak-hak serta
kewajiban public
5. pengawasan yang efektif dan efisien
Negara dan pemerintah
sejak tahun 1999
sudah menyadari perlunya fungsi pengawasan
eksternal tersebut. Terbukti bahwa sejak
dikeluarkannya TAP MPR-RI
Nomor VII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan
Pemberantasan dan Pencegahan
Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme. Salah satu rekomendasi dimaksud adalah perintah
pembentukan undang-undang tentang KPK dan
Ombudsman. Optimalisasi Pengawasan Eksternal Sejak KON (Komisi Ombudsman Nasional)
dilahirkan dengan Keppres, sampai satu dasawarsa ini dengan berbagai
keterbatasan (terutama sumber daya dan finansial), telah menerima 8500
pengaduan masyarakat atau rata-rata 850 pengaduan/tahun.
Angka ini membuktikan
bahwa berbagai bidang tersebut perlu ditingkatkan termasuk
juga kuantitas partisipasi publik. Angka tersebut masih sangat kecil jika dibandingkan dengan misalnya
Ombudsman di negara
Yunani, dengan jumlah
penduduk 12 juta jiwa, dapat menyelesaikan rata-rata
11.000 pengaduan masyarakat/tahun. Kemudian
dilahirkan Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2008 tentang
Ombudsman Republik Indonesia untuk memperkuat KON.
Selain landasan hukumnya lebih kuat (dari Keppres menjadi UU), juga kekuasaan dan
wewenangnya lebih besar, lebih kuat dan lebih luas. Pada sisi lain bentuknya
juga berubah dari sebuah Komisi berubah menjadi Lembaga Negara yang mandiri dan
permanen. Ombudsman RI merupakan lembaga negara yang
menganut dan memegang
asas-asas. Ombudsman universal. Dean Gotherer,
seorang pakar Ombudsman
dari Amerika dalam bukunya
Ombudsman Legislative Resource Document menyatakan
adanya 60 (enampuluh) asas-asas universal
dalam konsep Ombudsman. Asas-asas yang paling utama adalah independence,
impartiality, fairness, a credible review
process and confidenciality. Asas independent
merupakan hal yang
esensial, dan dimuat
sebagai sifat Ombudsman
RI di dalam Pasal 2 UU Nomor 37 Tahun 2008 yang
berbunyi: “Ombudsman merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan tidak
memiliki hubungan organik dengan lembaga
negara dan instansi
pemerintahan lainnya, serta dalam
menjalankan tugas dan
wewenangnya bebas dari
campur tangan kekuasaan lainnya”. Asas-asas universal lainnya dapat juga
dilihat pada Pasal
29 ayat (1)
yang menyebutkan : “Dalam memeriksa laporan, Ombudsman wajib berpedoman
pada prinsip-prinsip independen, non-diskriminasi, tidak memihak, dan tidak memungut biaya”,
dan juga Pasal 30 ayat
(1) yang mengatur bahwa Ombudsman dalam melakukan
pemeriksaan wajib menjaga kerahasiaan, kecuali demi menghambat terwujudnya penyelenggaraan negara dan
pemerintahan yang kredible,
jujur, bersih, terbuka serta bebas
dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Karena itu diperlukan
keberadaan lembaga pengawas eksternal yang secara
efektif mampu mengidentifikasi
dan menindaklanjuti perilaku maladministrasi dari penyelenggaraan
Negara dan pemerintahan. Mengapa diperlukan
pengawas eksternal? Karena pengalaman
membuktikan bahwa keberadaan
pengawas internal yang ada didalam
pemerintah (misalnya: inspektorat jenderal dan bawasda) dalam implementasinya ternyata belum memenuhi
harapan masyarakat, baik dari
sisi objektifitas maupun akuntabilitasnya. Sehingga, dibutuhkan
lembaga pengawas eksternal agar mekanisme pengawasan lebih kuat dan efektif
demi mewujudkan birokrasi bersih, transparan dan responsif
terhadap kebutuhan publik. Demi mewujudkan penyelenggaraan negara dan
pemerintahan yang baik
setidaknya pengawas eksternal bisa melakukan intervensi
dalam bidang-bidang strategis:
1. penegakan hukum
2. kualitas aparatur penyelenggara negara dan
pemerintahan
3. sistem manajemen
pelayanan publik baik
dalam peraturan perundang-undangan ataupun
implementasinya
4. partisipasi dan penyadaran hak-hak serta
kewajiban public
5. pengawasan yang efektif dan efisien
Negara dan pemerintah
sejak tahun 1999
sudah menyadari perlunya fungsi pengawasan
eksternal tersebut. Terbukti bahwa sejak
dikeluarkannya TAP MPR-RI
Nomor VII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan
Pemberantasan dan Pencegahan
Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme. Salah satu rekomendasi dimaksud adalah perintah
pembentukan undang-undang tentang KPK dan
Ombudsman. Optimalisasi Pengawasan Eksternal. Sejak KON (Komisi Ombudsman Nasional)
dilahirkan dengan Keppres, sampai satu dasawarsa ini dengan berbagai
keterbatasan (terutama sumber daya dan finansial), telah menerima 8500
pengaduan masyarakat atau rata-rata 850 pengaduan/tahun.
Angka ini membuktikan
bahwa berbagai bidang tersebut perlu ditingkatkan termasuk
juga kuantitas partisipasi publik. Angka tersebut masih sangat kecil jika dibandingkan dengan misalnya
Ombudsman di negara
Yunani, dengan jumlah
penduduk
12 juta jiwa, dapat menyelesaikan
rata-rata 11.000 pengaduan masyarakat/tahun. Kemudian dilahirkan Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2008 tentang
Ombudsman Republik Indonesia untuk memperkuat KON.
Selain landasan hukumnya lebih kuat (dari Keppres menjadi UU), juga kekuasaan dan
wewenangnya lebih besar, lebih kuat dan lebih luas. Pada sisi lain bentuknya
juga berubah dari sebuah Komisi berubah menjadi Lembaga Negara yang mandiri dan
permanen. Ombudsman RI merupakan lembaga negara yang
menganut dan memegang
asas-asas Ombudsman universal. Dean Gotherer, seorang pakar Ombudsman
dari Amerika dalam bukunya
Ombudsman Legislative Resource Document
menyatakan adanya 60 (enampuluh)
asas-asas universal dalam konsep Ombudsman. Asas-asas yang paling utama adalah
independence, impartiality, fairness, a credible review process and
confidenciality. Asas independent merupakan hal yang
esensial, dan dimuat
sebagai sifat Ombudsman RI di dalam Pasal
2 UU Nomor 37 Tahun 2008 yang berbunyi: “Ombudsman merupakan lembaga negara
yang bersifat mandiri dan tidak
memiliki hubungan organik dengan lembaga
negara dan instansi
pemerintahan lainnya, serta dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya”. Asas-asas universal lainnya dapat juga dilihat
pada Pasal 29
ayat (1) yang
menyebutkan : “Dalam memeriksa laporan, Ombudsman wajib berpedoman
pada prinsip-prinsip independen,non-diskriminasi, tidak memihak, dan tidak memungut biaya”, dan juga
Pasal 30 ayat (1) yang mengatur bahwa Ombudsman dalam melakukan pemeriksaan wajib menjaga
kerahasiaan, kecuali demi 3. Sekarang Ombudsman RI tidak
hanya berwenang menindaklanjuti laporan publik tetapi
juga memiliki kewenangan untuk melakukan
investigasi atas prakarsa sendiri. (Pasal 7, UU 37 Tahun 2008). 4. Sekarang
Ombudsman RI dapat
melakukan pemeriksaan ke objek
pelayanan publik tanpa
pemberitahuan terlebih dahulu kepada pejabat atau instansi yang dilaporkan,
(Pasal 34, UU 37 Tahun 2008) dan berwenang memeriksa dokumen-dokumen terkait yang diperlukan
dari instansi manapun untuk melakukan pemeriksaan laporan atau berdasarkan inisiatif investigasi sendiri (huruf b, ayat 1, pasal 8
UU 37 Tahun 2008). 5.Terdapat ancaman pidana
bagi setiap orang yang menghalangi
Ombudsman dalam melakukan pemeriksaaan,
dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.1 milyar
(Pasal 44, UU 37 Tahun 2008). 6. Terdapat
imunitas hukum: yaitu
dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya, Ombudsman Republik
Indonesia tidak dapat ditangkap, ditahan, diinterogasi, dituntut atau digugat
di muka pengadilan (Pasal 10, UU 37 Tahun 2008). Perlunya kerjasama dan
koordinasi Upaya perbaikan kualitas pelayanan publik dan
meningkatkan budaya hukum
tidak bisa dilakukan oleh hanya
satu lembaga, beberapa lembaga atau orang
per orang. Terdapat beberapa kendala besar, yaitu selain jumlah
sector pelayanan publik yang begitu banyak dan spesifik, juga sebaran wilayah yang begitu
luas. Maka, seluruh
pemangku kepentingan bangsa harus
bersama menjaga kepentingan ini, sehingga upaya-upaya
sinergis sangat diperlukan. Maka pada pinsipnya, Ombudsman RI perlu menjalin
koordinasi dan kerjasama dengan lembaga Negara atau lembaga pemerintahan
lainnya, serta lembaga kemasyarakatan dan perseorangan (pasal 7 UU 37 Tahun
2008). Dengan koordinasi dan kerjasama
akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi
pelaksanaan peran lembaga. Termasuk dengan adanya berbagai jenis spesifik
Ombudsman yang berada dilingkup daerah. Salah satu sudut pandang penting yang perlu diperhatikan
adalah bahwa, hak-hak masyarakat untuk
mendapatkan pelayanan publik yang baik dan kewajiban masyarakat untuk
berpartisipasi dalam pembangunan adalah dua hal yang secara serempak harus
dilakukan demi memberdayakan masyarakat. Semakin tinggi kualitas keberdayaan masyarakat, semakin besar peran
Ombudsman dalam dinamika pembangunan kesejahteraan
bangsa dan Negara Indonesia.
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Ombudsman_Republik_Indonesia
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&ved=0CCYQFjAB&url=http%3A%2F%2Fmultimedia-itjen.dephub.go.id%2Fdata-konten%2Fmm%2Fuploadedpdf%2FPaparan_Ombudsman_Ombudsman_dan_Penyelenggaraan_Pelayanan_Publik.pdf%3Fp%3Dpdf&ei=lVBwVI35Ocq9ugSMh4KYCw&usg=AFQjCNGcyysfKhKIX-JseR7_7ej5hqNfWA&sig2=nYBV-_LT2XEn8kCqLHrmRA&bvm=bv.80185997,d.c2E
http://www.mediafire.com/view/g0zdc1fy77l1cbn/peran+ori.pdf
Comments
Post a Comment